Survivor's Story
Chapt. 2 : Meet Another Survivor
OS by : Me
******************************************
Aku tak tau kemana arah kami sekarang.
Yang jelas saat ini aku sedang menggandeng tangan Anna, menyusuri jalan Denmark Street dengan langkah yang cepat dan terburu-buru. Kami baru saja meloloskan diri dari kejaran makhluk-makhluk aneh--yang kudefinisikan sebagai zombie--di kawasan tempat tinggal Anna. Kepalaku masih pusing memikirkan beberapa hal yang sedikit mengganjal..
Mengapa zombie-zombie itu bisa ada?
Apa yang menginfeksi manusia sampai berubah menjadi makhluk seperti itu?
Mengapa penyebaran penyakit--atau virus, atau bakteri, atau apalah itu--ini terkesan lambat? Bahkan saat ini, Denmark Street masih dalam keadaan tenang. Orang-orang belum terbangun pada pukul 3 kurang 15 menit.
Aku masih ingat jelas wajah pria lansia yang kulihat di Westburg Way saat itu. Lansia yang melompat dari jendela kamarnya di lantai dua--gila!--dan kemudian menatapkuu dengan seringaian aneh. Giginya amat sangat kotor, entahlah itu bawaan dari perubahannya menjadi zombie ataukah memang gigi semua lansia berwarna kuning dan penuh kerak. Walaupun di malam hari, tapi pria itu berdiri tepat dibawah lampu jalan dengan dagu terangkat memamerkan giginya padaku, ditambah dengan indra penglihatanku yang menjadi sedikit peka setelah dirangsang dengan rasa takut dan insting yang mengatakan bahwa semua tidak sedang baik-baik saja.
"Rick," Anna yang berjalan di sampingku kelihatan lelah. "Kita sebaiknya berhenti saja sekarang. Cari tempat aman. Aku perlu duduk, kakiku sudah sangat pegal."
Tidak ada tempat aman disini, begitu menurutku. Tapi aku kasihan melihat Anna, dan setengah mengumpat pada orang gila tak tau karma yang telah mencuri mobilku. Sejujurnya pun aku sudah tidak mampu lagi untuk berjalan, karena gelombang rasa kantuk mulai muncul lagi dan membuat langkahku melambat, ditambah lagi dua kelopak mata yang semakin berat. Anna benar, kami butuh tempat istirahat, tapi dimana?
Seorang pemabuk yang berjarak kira-kira duapuluh langkah dari tempat kami, tepat di seberang jalan sana, berjalan terhuyung-huyung lalu berhenti sambil memegang tiang lampu jalan. Ia melambai pada Anna, lalu bersiul-siul melecehkan. Ingin sekali rasanya aku menonjoknya, tapi aku ingat bahwa saat ini tugasku adalah mencari tempat istirahat bagi kami berdua.
"Hey man! Cewekmu cantik sekali!" seru pemabuk itu dari tempatnya berdiri. "Berapa harganya? Huh?"
Pria itu mengeluarkan dompet dari saku celananya, lalu menarik berlembar-lembar uang seratur dollar dan melemparkannya, tapi uang itu jatuh dengan menyedihkan ke atas jalan aspal tepat di depan kakinya. Dua helai yang tertiup angin, melayang dan menabrak plat mobil yang sedari tadi tidak kuperhatikan. Mobil sport dengan kap terbuka, jok kulit yang mewah.
Dia bukan pemabuk. Mungkin hanya seorang pemuda kaya yang sedang patah hati, lalu memutuskan untuk menenggak alkohol dan menghibur dirinya sendiri malam ini.
"Persetan dengan uangmu, bodoh!" Anna berteriak dengan emosi. "Banci sialan, mati saja kau!"
"Anna, Anna, sudahlah," aku menahan kedua bahu Anna, memegangnya dengan lembut dan menatap matanya. "Pria itu sedang mabuk."
"Gadis gila," Pria itu balas berteriak, lalu mengeluarkan umpatan-umpatan kasar dalam bahasa Spanyol--yang pernah kupelajari di kelas bahasa Spanyol di Universitas sebelum aku lulus--dan setelah itu beranjak maju, walau masih terhuyung-huyung tapi nampaknya berniat memukul Anna.
Aku sudah berdiri di depan Anna, bersiap melindunginya dan membuat kuda-kuda. Mungkin saja aku bisa menghajar pria ini jika dia berani melukai Anna, tapi pikiranku itu langsung lenyap seketika saat kulihat pria itu jatuh di tengah jalan, pingsan.
Terlalu banyak minum vodka pada saat yang tidak tepat, aha!
Segera kuhampiri tubuhnya yang menggeletak di jalan, dengan Anna yang berjalan di belakangku. Kurogoh saku celana pria itu--depan dan belakang--kemudian saku kemejanya. Gotcha! Hari keberuntunganku rupanya. Aku berhasil mendapatkan kunci mobilnya. Hari ini aku kehilangan chevrolet tua, dan mendapatkan ganti mobil sport warna merah mengkilap. Ini cukup adil buatku.
Anna tertawa saat aku melempar kunci mobil padanya. Dari sudut mataku aku melihatnya sedang naik ke mobil dan meletakkan koper serta kantong sampah berisi mie instan di jok belakang.
Tapi aku belum mau beranjak dari tempatku sekarang, entahlah. Mungkin hanya penasaran, karena sepertinya tadi aku melihat tubuh pria mabuk itu seperti bergetar, sekilas.
"Rick, tunggu apa lagi? Ayo!"
Aku masih terdiam di sana. Tubuh pria itu menggelepar seperti ikan di darat sekarang. Mula-mula pelan, lalu semakin lama semakin kuat.
Dan akhirnya berhenti. Tubuhnya terdiam membisu di aspal.
Kuputuskan untuk berjalan mundur sambil tetap mengawasi pria itu yang masih terbaru di sana. Tanganku meraba-raba mencari kenop pintu mobil, dan setelah menemukannya, aku segera membukanya lalu masuk.
"Ada apa?"
"Entahlah, pria itu kelihatannya sakit ayan."
"Kau yakin? Ah, sudahlah, jangan urusi dia. Kita harus segera pergi, ingat? Kau yang mengemudi, aku ingin tidur dulu."
Anna sedang mengatur posisi jok mobil, menurunkannya agar bisa tidur dengan nyaman. Setelah menemukan posisi yang pas, dia pun memejamkan matanya. Lama sekali aku memperhatikan dia. Wajahnya, tulang pipinya, hidungnya yang mancung, dagunya yang lancip, rambutnya yang pirang keemasan..
Aku bersumpah, barusan ada suara desahan nafas.
Mungkinkah itu hanya perasaanku saja? Tapi nafas itu berulang kali, dan menerpa tengkukku. Aku tidak tau, aku terlalu takut untuk menoleh ke samping.
Akhirnya, aku melihat ke sebelahku, tepatnya ke arah jalanan.
ASTAGA! Ujung hidungku tepat menyentuh gigi-gigi kotor di hadapanku. Gigi-gigi hitam yang bergemeletuk seolah kedinginan, dan bibir keriput yang tertarik ke atas.. Milik pria pemabuk tadi.
Seperti kejut listrik, aku segera melayangkan tinjuku ke rahangnya. Pria itu terlempar ke belakang, tapi segera berdiri lagi dengan cepat. Ia mendesis marah dan memelototkan matanya yang semerah darah. Urat-urat di pelipisnya menonjol, dan ia berlari ke arahku lagi.
Aku memutar kunci mobil dan mengambil apapun yang ada di dashbor lalu melemparkannya pada pria itu. Tapi dia tetap tak bergeming, seolah benda-benda yang mendarat di wajahnya bukanlah apa-apa. Aku terus mencari benda yang bisa kugunakan untuk menyerang, dan satu-satunya yang tersisa hanyalah sebuah pajangan singa kecil dari perunggu. Kuangkat benda itu, lalu menunggu sampai pria itu cukup dekat denganku.
Kutarik kerah kemejanya, dan ia memutar kepalanya! Manusia biasa tidak dapat melakukan hal itu, pastinya. Ia menatapku, terus menyeringai dan giginya masih bergemeletuk. Ia berusaha menggigit tanganku!
Dengan sekuat tenaga, kuhantamkan pajangan singa itu ke wajahnya. Satu kali, dua kali, tiga kali, berulang-ulang kali! Alih-alih darah, justru cairan hijau kental yang mengalir dari luka menganga di wajahnya yang tak lagi berbentuk, mengalir turun dari lukanya dan membasahi lengan panjang kemejaku, celana bahanku, bahkan mengotori jok!
Sekarang ia tak lagi bisa berbuat apa-apa. Tubuhnya terkulai lemas, dan aku segera melemparkannya dengan penuh rasa jijik sejauh mungkin dariku. Sadar kami tak boleh membuang waktu lagi, segera aku menancap gas dan melajukan mobilku sepanjang jalan dengan kecepatan tinggi.
******************************************
Ah, sebuah gudang.
Mungkin kami bisa beristirahat di dalam sana, karena mataku seolah tak mau berkompromi. Selama aku mengemudi, beberapa kali aku hampir menabrak lampu atau pembatas jalan. Kubangunkan Anna lalu aku mengecek jam tanganku. Pukul 3.38 dini hari. Kami sudah berada di perbatasan kota, di tengah hutan tanpa rumah-rumah warga di kanan kiri jalan. Hanya ada sebuah gudang tua yang kelihatannya tidak berpenghuni.
Kubawa Anna dan barang-barang kami ke dalam gudang itu. Sebelum masuk, aku sempat melihat sekilas plang nama di atas gudang itu. Plang itu sudah rusak tapi huruf-huruf yang tercetak disana masih tampak walaupun samar. Hans's Bar and Motel. Jadi ini bukanlah sebuah gudang, melainkan bekas bar dan sekaligus motel.
Pintu bangunan itu terbuat dari lempengan besi dan sudah berkarat. Saat kami masuk, aku sempat curiga melihat beberapa bekas jejak kaki di lantai yang kelihatan baru. Kami segera masuk dan menutup pintu lagi, tapi di dalam gelap gulita dan tak ada seberkas sinarpun yang bisa masuk kecuali sedikit lewat kolong bawah pintu masuk. Bangunan ini seolah tidak mempunyai jendela.
Tiba-tiba terdengar suara berisik, seperti gabungan antara langkah kaki dan bisikan.
"Aku mendengarnya tadi!" Tap. Tap. Tap.
"Tidak mungkin, Holmes. Ini sebuah gedung tua di pinggir kota, siapa yang mungkin datang kemari?" Tap. Tap. Suara perempuan.
"Sstt! Diam dan dengarkan!" Suara langkah kaki pun berhenti.
"SIAPA DISANA?!"
Anna melonjak dan membekap mulutnya sendiri, tepat disebelahku, berusaha untuk menahan jeritan keluar dari mulutnya.
"SIAPA DISANA?! JAWAB AKU SEKARANG JUGA!"
Hening.
Suara sesuatu yang bergerak cepat di udara, sepertinya pria besar bernama Holmes itu sedang mengayunkan sesuatu di tangannya.
"Tampaknya ada makhluk aneh yang menyusup kesini, Tara." Dia terdengar marah. "Aku bersumpah akan menemukannya, dan jika dia makhluk bergigi hitam yang meneteskan liur berwarna hijau lagi, aku bersumpah akan menebas kepalanya dengan kapak ini."
"TUNGGU! TUNGGU!" Aku berteriak. "Kami manusia. Kami.. kami berharap bisa menumpang sebentar disini, dan kurasa.. Kita mungkin menghadapi masalah yang sama. Kami hanya ingin berlindung dari makhluk aneh diluar sana."
Hening lagi, lalu terdengar suara bisikan yang lebih kecil lagi, seolah-olah Holmes dan Tara--dua orang yang sosoknya belum terlihat olehku--sedang membicarakan sesuatu yang amat rahasia. Tapi aku bisa menangkap suara Holmes yang menurutku kecil-namun-berisik, dia berkata, "Aku sudah menyuruhmu merantai pintu itu!"
Lalu tiba-tiba saja seisi ruangan itu diterangi oleh nyala dari lampu kemping sehingga aku bisa melihat meja-meja kayu bundar dan kursi-kursi kayu yang mengelilingi setiap meja, sebuah bar di sudut kanan ruangan serta rak kaca di belakangnya yang dipenuhi sarang laba-laba serta botol-botol minuman beralkohol. Di sudut yang kiri, ada tong-tong kayu besar yang ditopang meja segi empat yang juga terbuat dari kayu. Mungkin berisi anggur, mungkin juga sudah dikosongkan saat si pemilik meninggalkan gedung ini.
"Kalian pasti kelelahan." Ternyata nyala lampu itu berasal dari lampu kemping di tangan seorang gadis. Umurnya mungkin tidak lebih muda daripada Anna, tapi tinggi tubuhnya lebih pendek. Di angkatnya lampu kemping itu ke dekat wajahnya, sehingga aku bisa melihatnya dengan lebih jelas. "Ayo, ikuti aku. Kami punya banyak kamar kosong disini."
Aku dan Anna mengikuti cahaya lampu, memasuki sebuah lorong yang tak berdaun pintu. Lorong itu memiliki langit-langit yang rendah, dan deretan pintu di kanan dan kirinya. Pintu itu bertuliskan nomor 1, 2, 3, 4, 5, 6, dan entah berapa banyak lagi yang tidak bisa kami lihat karena terlalu gelap.
"Ini kamar kalian," Tara membukakan pintu kamar nomor 5. "Maafkan aku, tapi tempat tidurnya sangat berdebu--itulah yang terjadi pada rumah tua--dan ada sarang laba-laba dimana-mana, tapi ini satu-satunya kamar yang memiliki ranjang selain kamar yang ditempati aku dan Holmes."
"Terima kasih, Tara." Anna seperti mendecit di sampingku, memeluk lenganku dengan erat. "Kurasa aku sudah tidak ingin tidur lagi."
"Ya, kami bisa mengobrol dan berkenalan denganmu dan.. temanmu," aku berusaha untuk tersenyum pada orang asing dihadapanku ini.
"Oh! Apa yang kau maksud itu Holmes? Ya, dia temanku," Tara kelihatannya geli dengan penggunaan kata 'teman'. Tanpa suara, ia meminta kami untuk mengikutinya. Sampai ke ujung lorong, aku menarik kesimpulan bahwa ada 12 kamar di motel ini.
Tapi pintu di ujung lorong yang kini dibuka oleh Tara, bertuliskan 13 di pintunya.
Kami masuk, dan di ruangan itu kelihatan jauh lebih terang. Ruangan yang tidak berjendela juga, dengan ranjang king size dan nakas dari kayu yang di poles hingga warnanya tidak memudar walau mungkin umur perabot itu sudah bertahun-tahun.
Ruangan itu diterangi oleh nyala lampu neon di langit-langitnya, yang dengan redup berusaha memperlihatkan lebih jauh. Ada meja berbentuk kotak yang terbuat dari aluminium, lalu empat kursi plastik mengelilingi meja itu. Tara meletakkan lampunya di tengah-tengah meja dan menunjuk dua kursi yang tersisa, sebagai isyarat bahwa kami boleh duduk disana.
Sembari duduk aku kembali memperhatikan, ada sebuah meja televisi dengan TV kuno di atasnya. Aku tidak yakin TV itu masih berfungsi--bagaimana dengan salurannya, apakah masih memungkinkan untuk membuka berita?--karena TV itu terbuka ke saluran statis, hanya ada beberapa garis warna di layar.
Di satu kursi plastik, bersandar pada pojokan dinding, seorang pria bertubuh tinggi besar dengan brewok dan berambut ikal sedang membaca buku tipis yang lusuh di tangannya. Sampul buku itu bertuliskan "Panduan Menggunakan Televisi Kotak-Saluran Internasional".
"Namaku Anna, dan dia ini pacarku, Erick. Dan kalian berdua adalah.. Tara dan Holmes?" Anna membuka percakapan dengan memperkenalkan diri.
"Ya," Tara tersenyum hangat. "Maaf, Holmes ini orangnya agak pendiam dan emosian, terutama dengan orang-orang yang tidak dikenalnya."
"Tidak apa-apa, 'Rick juga begitu." kata Anna sambil tertawa.
"Maaf, tapi aku hanya ingin tau, tempat apa ini? Dan mengapa kalian bisa ada disini? Apakah kalian juga mengalami itu.. bertemu dengan zombie?" aku tak bisa lagi menahan diriku untuk bertanya.
Tara tampaknya terkejut diserbu dengan rentetan pertanyaan seperti itu. "Well, ini adalah tempat bisnis mendiang kakekku. Hans Caroll adalah kakekku. Dulunya jalanan ini sering dilewati pedagang-pedagang yang mau menjual tembakau, atau para pelaut dari pelabuhan desa yang ingin pergi ke Los Harbour."
"Dimana kakekmu sekarang?"
"Kakek Tara meninggal delapan tahun yang lalu," Holmes-lah yang kali ini menjawab pertanyaanku. "Dia ditemukan dalam keadaan tak bernyawa di kamar ini, kamar nomor 13 ini. Dia meninggal di kursi yang kau duduki sekarang, meninggal karena serangan jantung."
Mau tak mau aku menelan ludah dengan susah payah, dan sedikit bergidik ngeri. Demi mempertahankan martabat diriku di depan Anna, aku menahan diri untuk tidak beranjak dari tempatku.
"Lalu, kalian juga melihat zombie?"
"Zombie? Apakah kalian sedang berkhayal? Imajinasi kalian terlalu tinggi," Holmes mendengus pelan. "Kita bahkan belum tau makhluk apa itu, dan aku yakin ini sudah masuk berita internasional. Aku hanya perlu memperbaiki televisi ini."
Tara memulai ceritanya, "Awalnya aku terbangun di flatku karena suara berisik di luar. Kebetulan malam tadi Holmes menginap di rumahku karena ia baru saja diusir dari flatnya--telat membayar uang sewa sepertinya--"
Tara orang yang jujur, tapi jika aku jadi Holmes, aku pasti sudah kesal setengah mati karena aibku diumbar ke orang asing yang belum begitu dikenal.
"Kami lalu mengintip dari jendela. Di bawah jalanan masih kosong, tapi suasana sangat ribut. Holmes mengira ada kebakaran di salah satu flat tetangga kami, jadi kami segera turun ke lantai satu, keluar lalu menuju ke parkiran dan mengambil mobil. Saat keluar ke jalan, tiba-tiba saja ada seorang pemulung berbaju compang-camping menabrakkan dirinya ke depan mobil. Aku panik dan segera turun untuk melihat keadaannya, tapi betapa terkejutnya aku! Ketika kulihat darah yang mengalir dari lengan si pemulung yang terlindas ban mobil, ternyata berwarna hijau kental. Pemulung itu belum mati, dia mendelik padaku dengan mata merah dan memberontak dengan agresif, tapi tangannya tertahan ban mobil. Aku segera naik lagi ke mobil dan Holmes memacu mobil secepat mungkin, ke tempat ini. Kami rasa seluruh kota mungkin sudah dipenuhi makhluk-makhluk aneh itu. Apakah mereka terinfeksi sejenis virus?"
Aku menggeleng. Pengetahuanku akan kejadian aneh ini sama terbatasnya dengan semua orang yang ada di ruangan ini. Tiba-tiba Holmes berteriak penuh kemenangan. Ia segera melompat dari bangku plastiknya dan berlari menuju TV statis itu, menekan beberapa tombol dan memutar-mutar dua tuas untuk mengatur saluran TVnya. Ajaib, TV itu seketika menampilkan siaran berita Breaking News di channel BNN News. Aku pernah membaca di internet bahwa channel itu adalah salah satu channel tertua yang masih bertahan sampai sekarang, dan menyiarkan berita-berita tentang perang dalam saluran khusus.
Seorang wanita pembawa berita yang mengenakan blazer biru muda dengan dalaman kaos hitam, mengenakan dandanan asal-asalan dan rambut yang dikuncir tak rapi, tampak sedang berdiri di sebuah jalanan yang kosong. Aku melihat kantung matanya yang begitu besar dan gelap, jelas sekali ia harus mengorbankan waktu tidurnya demi pekerjaan--seperti yang seringkali harus kulakukan.
"Breaking News hari ini, BNN News, Amanda Garfield melaporkan dari tempat kejadian. Pemirsa sekalian, saat ini saya sedang berada di jalan Marcopolo Street di pusat kota Los Harbour. Setengah jam yang lalu, ada laporan yang diterima oleh kantor kepolisian di Los Angeles, yang menyiratkan bahwa suatu insiden telah terjadi di kota ini. Tim BNN News segera berangkat kemari untuk menyelidiki, apa yang sesungguhnya terjadi di Los Harbour, karena panggilan telepon dari warga yang melapor ke kantor polisi Los Angeles terputus setelah warga tersebut mengucapkan satu kata, 'Zombie'. Benarkah di kota yang terkenal damai dengan populasi pekerja kantoran yang cukup tinggi ini, telah terjadi sebuah insiden yang mana melibatkan..."
Gambar di televisi sedikit bergoyang.
"Greg, kau baik-baik saja?" Amanda Garfield kelihatannya sedang menanyakan kondisi kameramennya yang bernama Greg itu.
"Ya, ya. Aku baik-baik saja. Hanya sedikit pusing."
"Baiklah. Ya, pemirsa, seperti yang kita ketahui..."
Sepertinya, kamera kembali bergoyang.
"Greg, ayolah serius. Aku ingin segera pulang dan melanjutkan tidurku!"
Apakah ini saluran berita internasional, ataukah sebuah acara lawakan? Ini sungguh-sungguh tidak lucu, karena aku tau Anna, Tara dan Holmes sudah pucat.
Lalu sepertinya kamera si kameramen terlepas dari genggamannya. Gambar di layar sekarang hanya menampakkan dua pasang kaki. Sepasang kaki yang mengenakan high heels tentulah kaki milik si reporter, sedangkan yang satunya lagi, mengenakan sepatu kets, pasti milik si kameramen.
Kameramen itu terbatuk-batuk, lalu jatuh berlutut. Tangannya bertumpu pada aspal dan batuknya bertambah parah. Reporter itu mungkin sedang mendekatinya dan menanyakan keadaannya.
Lalu televisi kembali ke tayangan statis. Tampaknya pihak BNN News telah memutuskan salurannya.
Kami hanya diam terpaku di tempat.
..: to be continue :..
Tidak ada komentar :
Posting Komentar